Saturday, October 11, 2008

Buruknya angka dari data rekap

Sampai saat ini metode pengumpulan data kesehatan di Indonesia masih rata-rata diperoleh melalui rekap data yang dilakukan mulai dari puskesmas, rumah sakit, dinkes kab/kota- provinsi sampai ke pusat. Walaupun sudah ada kab/kota yang melakukan rekam data individu secara komputerisasi, namun persentasinya masih sangat kecil.

Data rekap adalah angka-angka kejadian yang dijumlahkan secara agregat, misalnya kejadian diare di desa A sebanyak 2 + 2 = 4, dikecamatan dijumlah lagi 2 + 2+ 4 dst. Begitu seterusnya ke kabupaten/ kota, provinsi bahkan sampai ke pusat. Hal inilah yang saya maksud buruk karena fakta yang kami alami, angka yg direkap oleh pengelola program dan pengelola data profil kesehatan selalu berbeda, padahal sumbernya sama. Begitulah faktanya laporan sampai ke pusat. Kelemahan dengan sistem ini karena ketika terjadi perbedaan semacam ini sangat susah dan bahkan tidak bisa mebuktikan di mana letak kesalahannya. Sehingga ketika didudukkan sama-sama dalam pemutakhiran data, maka mereka dengan gampangnya membuat kesepakatan, data saya atau data anda yang digunakan tanpa kekuatan pembuktian data yang mana benar. Selain masalah kualitas, data semacam ini selalu terlambat, dan ada peluang untuk membuat pengelola untuk mengarang angka ketika didesak untuk memasukkan laporan.

Sedangkan perekaman data individu yang saya maksud adalah kejadian yang direkam perindividu per kejadian. Misalnya No. 01, Si A, alamat, tgl lahir, alamatnya, kode sakit dst (tidak merekam angka) tetapi akan menghasilkan angka sesuai keinginan. Keuntungan perekaman semacam ini adalah dapat ditelusuri sia pa, di mana, umur berapa, kenapa dia dst. Dan dapat terupdate sesuai dengan berjalannya waktu. Jadi perekaman semcam ini tidak perlu dilakukan berulang2.

Fakta yang saya alami, ketika menganalisis data, salah satu contoh adalah penyakit tidak menular saya peroleh dari Subdin P2PL di kantor kami, untuk menghitung CFR adalah mati/ penderita x 100. Tetapi banyak diantaranya lebih besar angka mati dari pada penderita, aneh kan. Ini susah kami buktikan, di mana kesalahnnya, apakah pengetikannya yg salah, atau mengarangnya yg salah. Ketika saya mencrosschek ke sumberyna, pengelola hanya tersenyum dan berjanji akan mengcrosschek ke kabupaten kota. Tetapi sampai sekarang belum ada pembetulannya. Kejadian ini hanya sebagian kecil. Beginilah kenyataan sehari-hari. Jangankan data semacam ini, data sarana yang tidak bergerak saja selalu berbeda2 berdasarkan sumbernya. Misalnya jumlah puskesmas. Lain pada pengelola program, lain pad pengelola profil, lain pada Binkesms, lain pada BPS dll.

Memang perlu menjadi perhatian supaya permasalahan semacam ini tidak berlarut2. Sekarang Pusdatin Dekes RI telah membangun suatu jaringan online dari kabupaten/kota sampai pusat. Namun aplikasinya masih menganut sistem rekap data, maksud saya data rekap yang dimasukkan ke aplikasi. Jadi yang perlu dilakukan adalah perekaman individu harus dibangun di tingkat kecamatan, kabupaten, supaya aplikasi siknas online dapat terisi dengan data yang benar dan uptudate.

Demikian, semoga bermanfaat……………..

No comments: