Sunday, March 18, 2007

SEMINAR SEHARI ASPEK ORGANISASI DAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI KESEHATAN DAERAH

Minat Kebijakan Manajemen Pelayanan Kesehatan bekerjasama dengan konsentrasi Sistem Informasi Manajemen Kesehatan mengadakan seminar sehari tentang Aspek Organisasi dan Sumber Daya Manusia dalam Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Daerah pada hari Sabtu 17 Maret 2007 di gedung Ismangoen Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang dibuka oleh Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada: Prof. Dr. Hardyanto Soebono, SpKK.

Seminar itu terdiri dari 3 (tiga) sesi, seperti berikut :

Sesi I dimoderatori oleh dr Riris Andono Ahmad, MPH dengan pembicara sebagai berikut :
1. DR. Bambang Hartono, SKM, M.Sc (Kepala Pusat Data dan Informasi Kesehatan Departemen Kesehatan RI).
Materi: Kebijakan Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) dan Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS).
2. Prof. Dr. Hari Kusnanto, Dr.PH (Direktur Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UGM).
Materi : Benarkah Pengembangan SIKDA saat ini lebih berorientasi teknis dan pragmatis semata ?
3. Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD (Ketua Minat Kebijakan Manajemen Pelayanan Kesehatan).
Materi: Aspek Organisasi dalam Pegembangan SIKDA : Struktural, fungsional atau bentuk ?

DR. Bambang Hartono, SKM, M.Sc menekankan bahwa :
Dalam sistem kesehatan adalah terdiri dari beberapa sub sistem, antara lain pembiayaan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, SDM kesehatan, upaya kesehatan, obat / perbekalan kesehatan dan manajemen kesehatan. Menurut beliau diantara sub sistem tersebut, manajemen kesehatanlah yang harus dibenahi sekarang karena disinilah yang mengatur hubungan antara sub sistem yang ada sehingga menjadi satu kesatuan.
Yang terjadi di Depkes sampai ke bawah adalah semua unit bekerja mengumpulkan data, sementara Pusdatin juga mengumpulkan data, akhirnya pekerjaan pengumpulan data terjadi tumpang tindih, dan datanya tidak sama.
Pusat Data Depkes RI akan membangun jaringan antar Ditjen, Pusat dan lain-lain di tingkat pusat, provinsi sampai ke kabupaten/ kota. Sedangkan antara unit di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota diserahkan ke Pemda masing-masing.
Pemindahan data dari existing system terintegrasi dilakukan secara bertahap dimulai pada 2007 dan seterusnya.
Dan Prof. Dr. Hari Kusnanto, Dr.PH menegaskan bahwa :
Sistem Informasi Kesehatan Daerah salah nama ? Semestinya Sistem Informasi Kesehatan Penduduk di daerah.
Beliau juga mengatakan bahwa pembangunan SIKDA sebaiknya dimulai dari MINDSETnya, karena informasi adalah merupakan budaya, sedangkan budaya informasi dapat berubah jika MINDSET dapat berubah.

Dan Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menegaskan bahwa :
Berbagai macam proyek pengembangan sistem informasi sudah dilaksanakan oleh pusat sampai ke daerah namun kemudian terjadi kemacetan karena sulit dijalankan, atau ketika proyek masih berjalan sistem masih terpakai, namun ketika proyek selesai maka berhentilah sistem. Akhirnya berbagai batu nisan proyek dalam bentuk hardware dan software yang tidak terpakai.
SIK tidak dapat dipisahkan dari Sistem Kesehatan dan lembaga-lembaga yang mempunyai misi masing-masing.
Diharapkan tidak membuat proyek sistem informasi kesehatan di provinsi atau kabupaten/ kota sebelum ada penataan sistem kesehatan wilayah/ daerah.
Sistem informasi kesehatan sebaiknya dikelola oleh satu unit yang bersifat lintas bidang, supporting, dan didukng oleh tenaga fungsional.

Sesi II dimoderatori oleh Surahyo, B.Eng, M.Eng Sc dengan pembicara sebagai berikut :
1. Anis Fuad, DEA (Dosen SIMKES IKM FK UGM).
Materi: Prospek dan strategi penerapan jabatan fungsional pranata komputer organisasi kesehatan.
2. Djemingin Pamungkas, S.Pd, M.Kes
Materi : Model Sistem Insentif bagi tenaga fungsional SIKDA
3. dr. Dwi Handono Sulistyo, M.Kes
Materi : Peran Bapelkes dalam Persiapan SDM untuk SIKDA

Anis Fuad, DEA menegaskan bahwa salah satu strategi peningkatan kinerja Sumber Daya Manusia (SDM) untuk pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) adalah dengan pengangkatan pengelola menjadi fungsional pranata komputer sehingga tenaga pengelola tersebut merasa bahwa pekerjaan yang berkaitan dengan Sistem Informasi Kesehatan Daerah itu adalah merupakan miliknya. Buka lagi berarti bahwa SIKDA itu hanya pekerjaan tambahan, melainkan SIKDA itu merupakan pekerjaan pokoknya karena mereka di berikan tunjangan untuk mengelola SIKDA.

Dan Djemingin Pamungkas, S.Pd, M.Kes menegaskan bahwa insentif itu penting bagi tenaga fungsional SIKDA supaya dapat memenuhi ekonomi karyawan, mempertahankan tenaga kerja yang ada sehingga menjadi kerasan bekerja dan mencegah untuk pindah.
Sedangkan dr. Dwi Handodo Sulistyo, M.Kes menegaskan bahwa :
Untuk mengelola SIKDA belum ada tenaga yang khusus dan tupoksi tentang penelola SIKDA belum jelas sehingga bagaimana Bapelkes akan melatih tenaga tersebut.
Bagaimana dapat melatih tenaga Sistem Informasi Kesehatan kalau Sistem Kesehatan Daerah belum ada.
Peran Bapelkes sangat kecil karena struk organisasinya hanya sebagai UPT dan berada di luar lingkungan Dinas Kesehatan.

Sesi III dimoderatori oleh Luthfan Lazuardi, PhD dengan pembicara sebagai berikut :
1. dr. Azsri Krisnamurti (Kepala Dinas Kesehatan Kab. Wonosoba)
Materi : Kesulitan dan Hambatan dalam tahap awal Pengembangan SIKDA.
2. dr. Sururi
Materi : Leadership dan Sustainability dalam SIKDA

dr. Azsri Krisnamurti mengaskan bahwa ada dua factor penghambat dalam pengembangan SIKDA, yaitu :
Non Teknis, yaitu berkaitan dengan proses lelang dengan system merit point, pasti dicurigai mengarah pada rekanan tertentu, adanya rekanan titipan, intervensi dan pengkondisian dari atasan.
Teknis.
SDM belum siap, struktur organisasi belum ada, budaya pegawai bahwa tidak menggunakan komputerpun jalan, maintenance mahal, dan faktor geografis.
Tetapi prinsip beliau adalah jangan sekali-kali mendengar kata orang lain yang mempunyai kecenderungan negative atau pesimis ….. karena mereka akan mengambil sebahagian besar mimpi kta dan menjauhkan dari kita.
Sedangkan dr. Sururi menegaskan bahwa langkah strategis dalam pemanfaatan teknologi informasi adalah komitmen, membangun organisasi pembelajar, pembagian peran dalam/ luar organisasi, koordinasi lintas fungsi/ sector, advokasi stakeholder, dan konsistensi.

TANGGAPAN SAYA TENTANG SEMUANYA :

Semestinya Pusdatin Depkes RI bertidak sebagai bank data Depkes dan memperbaiki manajemen SIK di lingkup pusat sehingga tidak lagi terjadi perlombaan pada tingkat direktorat untuk masing-masing membuat software kemudian dibebankan ke daerah, sehingga di daerah para pengelola program hanya mengurusi data saja. Bagaimana peningkatan derajat kesehatan ? Tugas Pusdatin mencegah sumber fragmentasi dari atas.
Pada awalnya saya salut rencana Pusdatin akan membangun jaringan antar direktorat, pusat dll di tingkat pusat serta antar provinsi sampai kabupaten, tetapi saya akhirnya menjadi khawatir jaringan nantinya akan menjadi nisan peninggalan proyek jika seandainya di lingkup Depkes pusat manajemen SIK nya belum tertata dengan baik.
Untuk Prof . dr. Hari Kusnanto, Dr.PH bahwa untuk mengembangkan SIKDA harus dimulai dengan perubahan mindset, tetapi perubahan itu tidak semudah dengan yang diucapkan, melainkan mungkin tenaga harus dibekali dengan pengetahuan teknis tentang teknologi informasi sebagai bekal untuk meyakinkan semua pihak bahwa bukan sebatas cerita teori saja, tetapi mampu memperlihatkan buktinya, termasuk mahasiswa SIMKES UGM.
Sedangkan untuk Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD tentang yang mana duluan SIKDA atau SKD. Menurut saya jika SIKDA dianggap sebagai support manajemen, maka jalankan dulu SIKDA kemudian susun regulasinya dalam bentuk SKD. Sebab untuk menyusun SKD tentu membutuhkan informasi, sedangkan jika tidak berdasarkan informasi lantas menyusun SKD, sama saja dengan mengarang SKD.
Dan untuk Anis Fuad, DEA tentang fungsional pranata komputer. Menurut saya memang bagus, namun kendalanya adalah fungsional tersebut adalah fungsional non kesehatan sehingga jika akan diusulkan harus mendapat persetujuan dari BPS, kemudian dilanjutkan ke Badan Kepegawaian Daerah. Contohnya di Sulsel sejak tahun 2004 diusulkan ke BPS, sampai sekarang tidak ada realisasinya.
Pak Djemingin mengatakan bahwa insentif dapat menigkatkan kinerja. Tetapi menurut saya dengan insentif memang baik, tetapi semakin memperburuk prilaku kita karena pasti akan terjadi penurunan kualitas kerja jika tidak ada insentif, artinya tidak merasa memiliki pekerjaan itu.
Sedangkan untuk Bapelkes sampai saat ini belum mempunyai strategi tepat untuk meningkatkan SDM dalam rangka pengembangan SIKDA, karena masih bingung yang mana akan dilatih dan siapa yang akan melatih.
Dan untuk dr. Azsri Krisnamurti dan dr. Sururi, bahwa kesulitan dan hambatan yang diutarakan itu dialami oleh semua unit kesehatan seluruh Indonesia. Namun saya sangat salut komitmennya untuk mengembangkan SIKDA dengan mengambil prinsip katak tuli. Selamat berjuang insya Allah berhasil.



Sudarianto...............................